Sabtu, 17 September 2011

Baduy dan Sekolah Anak



Pertanyaan ini diajukan kepada khalayak, komunitas Save Baduy untuk mendapatkan gambaran tentang bangun/konsep pelestarian Baduy dari berbagai sudut pandang. Saya mengharapkan respon yang konstruktif, baik hanya berupa komen atau tulisan yang lebih mendalam.
Saya ingin mengkontraskan dua contoh persoalan tentang pelestarian Baduy ini. Pertama, pelestarian wilayah Baduy dan kedua pelestarian Budaya Baduy.
Ketika kita berbicara pelestarian wilayah, maka objek yang kita bicarakan berada dalam lingkup yang mudah ditentukan batas-batasnya. Wilayah yang dimaksud adalah Desa Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Batas-batas geografi wilayah Desa Kanekes sebagaimana dirujuk oleh Surat Keputusan Bupati Lebak No. 590/kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Detail Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kenekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak tertanggal 16 Juli 2002. Dalam hal wilayah geografi ini, kita akan mudah bersepakat tentang apa yang dilestarikan.
Namun, ketika kita berbicara tentang pelestarian budaya Baduy, maka spektrum pembicaraan menjadi meluas. Budaya mana yang kita lestarikan? Mari mengambil beberapa contoh saja dari beragam aspek budaya ini. Lifestyle masyarakat Baduy misalnya. Cara hidup yang dipilih oleh orang Baduy seperti tampak pada saat ini dalam kehidupan mereka sehari-hari secara ajeg telah berlangsung selama ratusan tahun, dari abad ke abad, sejak jaman pertama kali mereka terekam sejarah. Tak banyak yang berubah, dari mulai bagaimana cara mereka menanam padi hingga cara mereka menolak hal-hal yang datang dari luar yang boleh jadi kita menyebutnya sebagai kemodernan, kemajuan peradaban.
Baduy menolak untuk merubah teknologi pertanian mereka. Mereka tidak akan merubah Huma, ladang padi, menjadi petak-petak sawah yang beririgasi. Mereka tidak akan pernah menggunakan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida. Sampai saat ini masyarakat Baduy masih melaksanakan kegiatan menanam padi ini dengan sistem yang disebut oleh Prof. Johan Iskandar dengan istilah Swidden Farming atau Slash and Burn. Dalam bahasa setempat,ngahuma. Apakah ‘teknologi pertanian’ ala Baduy seperti ini dapat kita masukan ke dalam ceklis yang patut dilestarikan?
Baduy pun menolak menyelenggarakan pendidikan formal (sekolah) bagi anak-anaknya, dengan tidak mengijinkan berdirinya bangunan sekolah di dalam wilayah adat. Akan tetapi, dalam hal yang satu ini ada yang perlu diketahui oleh masyarakat luas tentang pernyataan Ayah Mursyid, bahwa kokolot Adat membebaskan warganya secara individu untuk memperoleh pengetahuan/keterampilan untuk keperluan pribadinya sesuai tuntutan jaman ataupun bersekolah formal di luar Baduy (Asep Kurnia, 2010.)
Apabila pada saatnya nanti anak-anak Baduy bersekolah, bisa dibayangkan betapa mereka di pagi yang dingin berembun harus berjalan kaki melintasi bukit-bukit pegunungan Kendeng berkilometer jauhnya ke  luar batas Desa mereka untuk bersekolah? Mengapa? Lagi-lagi karena di Baduy tidak boleh ada kendaraan meski hanya sepeda gunung. Sepanjang tahun, Baduy memang adalah wilayah car-free day.
Agar bahasan kita tidak berpanjang-panjang, ini sajalah dulu yang dapat dilemparkan ke khalayak. Tentunya masih diperlukan berjilid-jilid halaman untuk membicarakan semua hal tentang pelestarian Baduy. Nah, kembali kepada pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, Melestarikan Baduy, apakah membiarkan anak-anak Baduy tidak bersekolah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar